Cinta Dalam Diam
Selasa, 22 Oktober 2019
Cinta Dalam Diam - Harum tengah membaca tiga perempat novel karya penulis favoritnya. Dua bulan belakangan ini, ia berperang melawan waktu dengan tugas skripsi yang akan dikumpulkan tiga minggu lagi. Namun novel terbaru itu selalu membuatnya penasaran. Sudah dua hari ia mencoba menuntaskan bacaannya itu yang tebalnya lebih dari 500 halaman, serta keterbatasan waktu yang menyita hariharinya, Harum berusaha membahagiakan dirinya dengan membaca kisah dari penulis favoritnya tersebut sedikit demi sedikit.
Sejak awal membuka mata di hari Selasa ini, Harum langsung menuju rak buku mininya. Ia bergegas menyergap bacaannya lahap-lahap macam makanan kesukaan. Hingga matahari merangkak menuju tengah hari, Harum bahkan mengabaikan rutinitasnya. Ia meliburkan diri dari tugas akhirnya. Ia juga mengabaikan pesan masuk dari ponsel Android berwarna putihnya itu. Harum ingin sekali cepatcepat menghabiskan sepotong kisah yang selalu membuatnya tertawa seperti orang gila, bahkan menangis sesegukan tidak jelas. Buku adalah teman sejatinya di kala penat dan lelah.
Hanya sekali bunyi pesan di ponsel-nya berdering. Harum berpikir, tidak ada acara penting di luar sana. Paling hanya broadcast. Malas untuk sekadar melihat status-status orang galau yang sering berganti-ganti foto dan mengeluh ataupun berdoa lewat media sosial. Harum melanjutkan membaca bukunya lembar demi lembar. Ia juga tidak peduli dengan titah sahabat dekatnya yang meminta berkunjung ke kosan untuk berbagi ilmu seputar skripsi. Harum benarbenar malas hari ini. Ia ingin berteman dengan buku bacaan.
Satu jam kemudian, Harum iseng mengecek ponsel-nya yang tergeletak lemah di samping tempat duduknya, di atas kasur.
*From, Aga.
Oh astaga, mata gadis berkulit kuning langsat dan berambut agak pirang sebahu itu langsung membesar. Nampaknya pupil cahayanya tidak jeli melihat huruf yang tertera di layar ponsel-nya itu. Atau mungkin minus silindernya bertambah, sehingga ia harus mengenakan kacamata baru. Harum menarik napas panjang, mendesah.
Hatinya bertanya-tanya. Ada apakah gerangan menghubungiku? Atau sesekali berprasangka aneh-aneh. Apa dia merindukanku? Namun pikiran itu segera ia musnahkan. Semenjak tragedi dua bulan lalu, Harum yang kini tengah sibuk dengan penelitian ilmiahnya itu telah memutuskan untuk tidak tertarik mengintip segala yang berbau tentang Aga, si cowok besar gengsi itu. Aga tidak pernah mencintai Harum.
Aga tidak pernah memberikan kesempatan kepada Harum untuk memiliki kisah indah itu. Harum menelan ludah. Tatapannya datar menghadap dinding putih di depannya. Kosong, tidak berkomentar lagi. Satu pesan untuknya belum ia tutup dari layar ponsel. Tangan kanannya masih menggenggam erat benda elektronik itu. Sedangkan tangan kirinya menjepit novel.
Harum bengong tidak percaya. Apa maksud Aga mengirim pesan untuknya? Bukankah hubungan mereka telah resmi berakhir? Bukankah Harum masih berkabung, berjuang
menata hatinya yang hancur berserakan di lantai-lantai relung jiwanya? Harum bangkit dari lamunan dan prasangka anehanehnya itu. Ia membaca sekali lagi nama dirinya yang tertera di text message chatting itu. “Harum”. Masih belum percaya. Laki-laki gengsian seperti Aga terasa aneh mengiriminya pesan. Bahkan semenjak mereka bertemanpun, Harum lah yang selalu memulai pembicaraan.
Aga hanya membalas dingin dan seperlunya. Ini bukan tentang cinta terpendam yang kebanyakan remaja merasakannya. Ini beda dari itu. Sungguh beda. Harum memang pernah mencintai Aga sejak pertama kali mengenalnya. Mungkin hingga detik ini ia pun masih mencintainya. Namun Aga tidak pernah membalas perasaaan Harum. Harum tak pernah menyerah. Wanita mandiri yang sekarang genap berusia 23 tahun itu kerap melakukan uji kreatif agar Aga menyukainya, setidaknya merespon sikapnya.
Harum bukanlah wanita agresif yang demi mendapatkan hati seorang laki-laki yang dicintainya, ia akan melakukan segala cara agar pria incarannya bertekuk lutut dan menyerah padanya. Harum sungguh berbeda dengan wanita lainnya. Benih cinta yang muncul dalam hatinya tanpa sengaja memberikan sinyal yang begitu kuat, simpati, dan perhatian yang tiada duanya untuk Aga. Sehingga Aga pelanpelan memberikan lampu hijau.
“Kamu wanita yang paling baik yang pernah kukenal. Aku takut mengecewakanmu. Kesibukanku tak pernah usai. Aku terlalu cuek. Aku sudah berkali-kali menghilangkan sifat jelekku itu, tapi aku tidak akan pernah bisa. Itu sudah menjadi watak asliku. Aku mau kamu prioritaskan tugas akhir kamu, baru nanti kita bicarakan tentang kita. Aku takut mengganggu waktumu yang setiap detik memikirkanku. Sedangkan aku kadang bersikap acuh tak merisaukanmu.”
Kata-kata itu terucap dua bulan lalu dari mulut laki-laki berkulit putih, berkacamata minus, pengawakan tinggi, dan berwibawa. Masih terngiang jelas dalam rekaman diary Harum. Harum tersenyum, mengingat lagi kejadian terakhir kali pertemuan itu dengan sang kekasih. “Apakah aku masih punya kesempatan? Aku tidak akan mempermasalahkan sifat cuekmu, dan aku akan mencoba membiasakan semua itu. Aku tahu, kamu sedang belajar mencintaiku, izinkan aku membantumu setiap kau butuh.
Aku bersedia menerima segala kurang dan lebihmu. Aku tidak keberatan dengan duniamu. Aku menyayangimu, Aga.” Harum berkata lirih. Matanya berkaca-kaca. “Aku juga menyayangimu, Harum. Tapi kondisinya serba salah. Aku tidak pernah punya waktu luang untuk kamu. Aku sedih menelantarkanmu karena kesibukanku. Di hari libur, kadang aku butuh waktu sendiri untuk mengerjakan tugas rumahku. Bahkan aku masih harus membawa setumpuk pekerjaan yang harus kuselesaikan secepat mungkin.
Aku tidak tega membiarkanmu terus mencintaiku, menungguku setiap malam hanya untuk bertanya sudah sampai di rumah atau belum? Sudah makan atau belum? Dan sebagainya. Aku yang justru merasa bersalah dengan perhatian dan niat baikmu padaku.” Aga mengusap wajah, menatap Harum merasa semakin bersalah. Tangannya terkulai di atas meja makan. Harum memberikan pembatas buku di halaman novel terakhir yang ia baca. Buku itu kini ia letakkan di dekat kakinya. Sinyal di layar ponsel meredup karena terlalu lama didiamkan. Jari-jari tangannya dengan lincah menggerakkan layar ponsel dan mengetikkan tiga huruf sebagai balasan, “Iya”.
Hanya itu, Harum bingung harus menjawab apa. Matanya masih memelototi layar chatting. Tidak berkedip sedetikpun. Terlihat notifikasi tanda pesan sedang diketik dari pihak pengirim pesan. Harum tertegun lagi. Pesannya dengan cepat dibalas, “Apa kabar?” Harum membenarkan letak kacamatanya. Mungkin ada yang salah dengan penglihatannya. Belum pernah Aga membalas pesan sekilat ini.
Harum makin tidak mengerti maksud pesan Aga. “Baik.” Harum lagi-lagi menjawab singkat. Matanya kini jelalatan ke setiap sudut ruangan. “Syukur deh. Kamu lagi apa?” “Habis baca novel.” “Oh, tidak jauh-jauh ya, pasti seputar itu.”
Aga paham betul kebiasaan Harum yang gemar sekali membaca novel. Bahkan dulu Aga sempat komplain karena Harum lebih memilih begadang hingga larut malam demi kegemarannya itu daripada memperhatikan kesehatannya.
Aga tidak secuek dan sedingin yang digambarkan. Laki-laki yang berbeda dua tahun di atas Harum memang memiliki tabiat yang tidak bisa diprediksi. Aga sangat susah ditebak. Aga terlalu misterius. Namun Aga adalah laki-laki dewasa yang membuat Harum kagum. Di saat Harum hendak membalas pesan chat selanjutnya, terlihat gambar voice chat di layar itu berkedip-kedip, menyaringkan bunyi.
“Lewat chat aja.” Aga malas berbicara.
“Lah, memangnya siapa yang telepon? Bukannya kamu ya?” Harum tidak merasa menekan tombol telepon di ponselnya. Ia pikir Aga lah yang menekan tombol voice chat itu. “Eh, memangnya aku ya? Aku tidak tahu.”
Dan percakapan itu pun berakhir begitu saja. Harum tidak membalas lagi pesannya. Padahal ia senang sekali Aga benar-benar meneleponnya. Hampir tidak pernah Aga menghubungi Harum via suara. Tapi keinginan untuk mendengar suara Aga tiba-tiba hilang. Harum tidak lagi berselera bercakap-cakap bertanya hal lain. Untuk apa? Tidak ada yang perlu ditanyakan lagi. Bertanya pacar baru?
Ah, itu hanya mengundang masalah berikutnya. Harum sudah mengikhlaskannya. Harum dan Aga tak pernah berpacaran. Beberapa bulan terakhir mereka memang sempat dekat, sempat menyinggung masalah rumah tangga. Tapi Aga tak kunjung memberikan kepastian tentang hubungan mereka lebih
lanjut.
Bersambung…
Penulis: Nalla Dewi
Sejak awal membuka mata di hari Selasa ini, Harum langsung menuju rak buku mininya. Ia bergegas menyergap bacaannya lahap-lahap macam makanan kesukaan. Hingga matahari merangkak menuju tengah hari, Harum bahkan mengabaikan rutinitasnya. Ia meliburkan diri dari tugas akhirnya. Ia juga mengabaikan pesan masuk dari ponsel Android berwarna putihnya itu. Harum ingin sekali cepatcepat menghabiskan sepotong kisah yang selalu membuatnya tertawa seperti orang gila, bahkan menangis sesegukan tidak jelas. Buku adalah teman sejatinya di kala penat dan lelah.
Hanya sekali bunyi pesan di ponsel-nya berdering. Harum berpikir, tidak ada acara penting di luar sana. Paling hanya broadcast. Malas untuk sekadar melihat status-status orang galau yang sering berganti-ganti foto dan mengeluh ataupun berdoa lewat media sosial. Harum melanjutkan membaca bukunya lembar demi lembar. Ia juga tidak peduli dengan titah sahabat dekatnya yang meminta berkunjung ke kosan untuk berbagi ilmu seputar skripsi. Harum benarbenar malas hari ini. Ia ingin berteman dengan buku bacaan.
Satu jam kemudian, Harum iseng mengecek ponsel-nya yang tergeletak lemah di samping tempat duduknya, di atas kasur.
*From, Aga.
Oh astaga, mata gadis berkulit kuning langsat dan berambut agak pirang sebahu itu langsung membesar. Nampaknya pupil cahayanya tidak jeli melihat huruf yang tertera di layar ponsel-nya itu. Atau mungkin minus silindernya bertambah, sehingga ia harus mengenakan kacamata baru. Harum menarik napas panjang, mendesah.
Hatinya bertanya-tanya. Ada apakah gerangan menghubungiku? Atau sesekali berprasangka aneh-aneh. Apa dia merindukanku? Namun pikiran itu segera ia musnahkan. Semenjak tragedi dua bulan lalu, Harum yang kini tengah sibuk dengan penelitian ilmiahnya itu telah memutuskan untuk tidak tertarik mengintip segala yang berbau tentang Aga, si cowok besar gengsi itu. Aga tidak pernah mencintai Harum.
Aga tidak pernah memberikan kesempatan kepada Harum untuk memiliki kisah indah itu. Harum menelan ludah. Tatapannya datar menghadap dinding putih di depannya. Kosong, tidak berkomentar lagi. Satu pesan untuknya belum ia tutup dari layar ponsel. Tangan kanannya masih menggenggam erat benda elektronik itu. Sedangkan tangan kirinya menjepit novel.
Harum bengong tidak percaya. Apa maksud Aga mengirim pesan untuknya? Bukankah hubungan mereka telah resmi berakhir? Bukankah Harum masih berkabung, berjuang
menata hatinya yang hancur berserakan di lantai-lantai relung jiwanya? Harum bangkit dari lamunan dan prasangka anehanehnya itu. Ia membaca sekali lagi nama dirinya yang tertera di text message chatting itu. “Harum”. Masih belum percaya. Laki-laki gengsian seperti Aga terasa aneh mengiriminya pesan. Bahkan semenjak mereka bertemanpun, Harum lah yang selalu memulai pembicaraan.
Aga hanya membalas dingin dan seperlunya. Ini bukan tentang cinta terpendam yang kebanyakan remaja merasakannya. Ini beda dari itu. Sungguh beda. Harum memang pernah mencintai Aga sejak pertama kali mengenalnya. Mungkin hingga detik ini ia pun masih mencintainya. Namun Aga tidak pernah membalas perasaaan Harum. Harum tak pernah menyerah. Wanita mandiri yang sekarang genap berusia 23 tahun itu kerap melakukan uji kreatif agar Aga menyukainya, setidaknya merespon sikapnya.
Harum bukanlah wanita agresif yang demi mendapatkan hati seorang laki-laki yang dicintainya, ia akan melakukan segala cara agar pria incarannya bertekuk lutut dan menyerah padanya. Harum sungguh berbeda dengan wanita lainnya. Benih cinta yang muncul dalam hatinya tanpa sengaja memberikan sinyal yang begitu kuat, simpati, dan perhatian yang tiada duanya untuk Aga. Sehingga Aga pelanpelan memberikan lampu hijau.
“Kamu wanita yang paling baik yang pernah kukenal. Aku takut mengecewakanmu. Kesibukanku tak pernah usai. Aku terlalu cuek. Aku sudah berkali-kali menghilangkan sifat jelekku itu, tapi aku tidak akan pernah bisa. Itu sudah menjadi watak asliku. Aku mau kamu prioritaskan tugas akhir kamu, baru nanti kita bicarakan tentang kita. Aku takut mengganggu waktumu yang setiap detik memikirkanku. Sedangkan aku kadang bersikap acuh tak merisaukanmu.”
Kata-kata itu terucap dua bulan lalu dari mulut laki-laki berkulit putih, berkacamata minus, pengawakan tinggi, dan berwibawa. Masih terngiang jelas dalam rekaman diary Harum. Harum tersenyum, mengingat lagi kejadian terakhir kali pertemuan itu dengan sang kekasih. “Apakah aku masih punya kesempatan? Aku tidak akan mempermasalahkan sifat cuekmu, dan aku akan mencoba membiasakan semua itu. Aku tahu, kamu sedang belajar mencintaiku, izinkan aku membantumu setiap kau butuh.
Aku bersedia menerima segala kurang dan lebihmu. Aku tidak keberatan dengan duniamu. Aku menyayangimu, Aga.” Harum berkata lirih. Matanya berkaca-kaca. “Aku juga menyayangimu, Harum. Tapi kondisinya serba salah. Aku tidak pernah punya waktu luang untuk kamu. Aku sedih menelantarkanmu karena kesibukanku. Di hari libur, kadang aku butuh waktu sendiri untuk mengerjakan tugas rumahku. Bahkan aku masih harus membawa setumpuk pekerjaan yang harus kuselesaikan secepat mungkin.
Aku tidak tega membiarkanmu terus mencintaiku, menungguku setiap malam hanya untuk bertanya sudah sampai di rumah atau belum? Sudah makan atau belum? Dan sebagainya. Aku yang justru merasa bersalah dengan perhatian dan niat baikmu padaku.” Aga mengusap wajah, menatap Harum merasa semakin bersalah. Tangannya terkulai di atas meja makan. Harum memberikan pembatas buku di halaman novel terakhir yang ia baca. Buku itu kini ia letakkan di dekat kakinya. Sinyal di layar ponsel meredup karena terlalu lama didiamkan. Jari-jari tangannya dengan lincah menggerakkan layar ponsel dan mengetikkan tiga huruf sebagai balasan, “Iya”.
Hanya itu, Harum bingung harus menjawab apa. Matanya masih memelototi layar chatting. Tidak berkedip sedetikpun. Terlihat notifikasi tanda pesan sedang diketik dari pihak pengirim pesan. Harum tertegun lagi. Pesannya dengan cepat dibalas, “Apa kabar?” Harum membenarkan letak kacamatanya. Mungkin ada yang salah dengan penglihatannya. Belum pernah Aga membalas pesan sekilat ini.
Harum makin tidak mengerti maksud pesan Aga. “Baik.” Harum lagi-lagi menjawab singkat. Matanya kini jelalatan ke setiap sudut ruangan. “Syukur deh. Kamu lagi apa?” “Habis baca novel.” “Oh, tidak jauh-jauh ya, pasti seputar itu.”
Aga paham betul kebiasaan Harum yang gemar sekali membaca novel. Bahkan dulu Aga sempat komplain karena Harum lebih memilih begadang hingga larut malam demi kegemarannya itu daripada memperhatikan kesehatannya.
Aga tidak secuek dan sedingin yang digambarkan. Laki-laki yang berbeda dua tahun di atas Harum memang memiliki tabiat yang tidak bisa diprediksi. Aga sangat susah ditebak. Aga terlalu misterius. Namun Aga adalah laki-laki dewasa yang membuat Harum kagum. Di saat Harum hendak membalas pesan chat selanjutnya, terlihat gambar voice chat di layar itu berkedip-kedip, menyaringkan bunyi.
“Lewat chat aja.” Aga malas berbicara.
“Lah, memangnya siapa yang telepon? Bukannya kamu ya?” Harum tidak merasa menekan tombol telepon di ponselnya. Ia pikir Aga lah yang menekan tombol voice chat itu. “Eh, memangnya aku ya? Aku tidak tahu.”
Dan percakapan itu pun berakhir begitu saja. Harum tidak membalas lagi pesannya. Padahal ia senang sekali Aga benar-benar meneleponnya. Hampir tidak pernah Aga menghubungi Harum via suara. Tapi keinginan untuk mendengar suara Aga tiba-tiba hilang. Harum tidak lagi berselera bercakap-cakap bertanya hal lain. Untuk apa? Tidak ada yang perlu ditanyakan lagi. Bertanya pacar baru?
Ah, itu hanya mengundang masalah berikutnya. Harum sudah mengikhlaskannya. Harum dan Aga tak pernah berpacaran. Beberapa bulan terakhir mereka memang sempat dekat, sempat menyinggung masalah rumah tangga. Tapi Aga tak kunjung memberikan kepastian tentang hubungan mereka lebih
lanjut.
Bersambung…
Penulis: Nalla Dewi