Kisah Hidup Seorang Mahasiswa 12 Semester
Minggu, 26 Januari 2020
Mediasiana.com - Perjalanan hidup seorang mahasiswa. Lulusnya mahasiswa 12 semester. Hampir jadi mahasiswa abadi, ya inilah kisahku.
Memulai kuliah pada September 2012, perjuanganku menyelesaikan Strata 1 tidaklah lancar. Jika orang lain normalnya menghabiskan masa studi 4 tahun, aku malah 6 tahun. Memalukan? Ya, memang.
Dunia perguruan tinggi tidaklah ramah padaku. Mulai dari sistem pembelajaran yg berbeda dengan masa sekolah menengah atas, dosen yang tidak sepeduli guru SMA, mahasiswa yang mulai kecanduan membolos, kecanduan travelling, berlatih membagi waktu karena tergoda untuk bekerja, dosen yang jarang berangkat, problematika keluarga, cinta, dan sosial yang semakin rumit, sampai masalah finansial yg sulit untuk ditolak. Semua telah aku lewati.
Awal masuk kuliah aku masih jadi mahasiswa yang rajin. Sekitar IPK 3.5 dapat ku raih sampai semester 3.
Mungkin suasana SMA masih terbawa. Mulai masuk semester 4, aku mulai tertular virus malas dan mulai kecanduan membolos sehingga semester 5 nilai IPK terjun bebas sampai 2.5 .
Kesibukan bekerja juga turut berpengaruh pada konsentrasiku menimba ilmu. Aku memang harus bekerja untuk membayar dana kuliah dan kebutuhan keseharianku. Di semester inilah aku seperti kehabisan asa untuk melanjutkan pendidikanku atau tidak. Pasalnya aku seperti salah masuk jurusan. Seperti "87% mahasiswa di Indonesia". Jangan kaget! Menurut Educational Psychologist dari Integrity Development Flexibility (IDF) Irene Guntur, M.Psi., Psi., CGA, memang begitulah adanya. Ada yang berani pindah jurusan, ada yang memilih terjebak. Aku memilih Teknik Informatika karena waktu SMA tertarik pada hal yang berkaitan dengan teknologi. Namun memasuki perkuliahan nyatanya, susah. Sangat sukar untuk masuk pada ubun-ubun kepalaku. Entah coding, grafis, dll. Sepertinya aku lebih tertarik pada jurnalistik. Suka terhadap berita dan informasi. Aku suka berbagi Foto dan Video, mungkin bagian multimedialah yg ku sukai dari jurusanku. Tapi ya sudahlah, tetap aku paksakan. Bagaimanapun hasilnya. Itu pilihan, nasib orang memang tak ada yang tahu.
Memasuki semester 7 aku mulai mendaftar KKL, itu saat mulai kecanduan travelling hingga tugas kuliah kadang terbengkalai. Dan apesnya aku harus mendaftar sampai 3 kali, (hingga semester 9) baru aku mengikuti KKL sampai selesai. Gila sekali. Tapi mau bagaimana lagi, menyelesaikan KKL jadi syarat untuk mendaftar skripsi di semester depan. Tugas akhir mahasiswa jika ingin diwisuda (dinyatakan lulus).
Sekali lagi,
Aku sudah terlalu malas. Hingga aku cuti. Selama satu tahun. (Juni 2017- Juni 2018/Semester 10-11). Pikirku, Aku tak sanggup menjinakkan skripsi. Aku tak mau ambil pusing.
Yang ada di kepalaku hanya cari uang yang banyak, cari pengalaman, cari sesuatu yg bisa menghibur diri. Tiada hari tanpa bersenang-senang.
Hingga suatu waktu aku berpikir. Sudah berapa juta yang aku habiskan untuk membayar kuliah? Sudah berapa tahun aku tidak bisa mencari pekerjaan yang lebih baik karena terbentur ijazah SMA? Apakah Drop Out (keluar dari kampus) adalah pilihan terbaik? Atmosfer dunia kampus semakin berkecamuk. Aku melihat banyak orang sepantaran usiaku bahkan adik kelasku di luar sana yang telah lulus perguruan tinggi, ditambah mempunyai pekerjaan yang bagus. Pasti orang tua mereka bangga.
Oh, aku iri sekali.
Aku harus bagaimana?
Aku harus bagaimana?
Mungkin ini sudah saatnya aku melanjutkan studiku.
Dan akhir Juni 2018, aku mendaftar skripsi guna menyelesaikan perkuliahanku. Di Tingkat akhir inilah mahawiswa dituntut dengan kesabaran tingkat dewa. Menyusun judul penelitian hingga diacc. Jadwal bimbingan pada dosen yang kadang tidak menentu tak kenal hari tak kenal waktu. Coretan revisi dan kritik yang menyayat hati. Uang, waktu, tenaga, begitu terforsir. Sumpah serapah bertutur kata kasar, terkadang keluar dari mulut ini.
Setelah laporan selesai, tinggal menuju jadwal sidang. Persiapan yg membuat jantung berdebar. Penguasaan materi sangat perlu. Diri ini diseret untuk menghadapi pertanyaan dosen penguji. Semua ku jawab sebisaku, dan memang hanya aku yang bisa menjawab pertanyaan dosen penguji karena aku yg mengerjakan penelitianku, bukan orang lain. Beberapa pertanyaan aku jawab dengan gugup dan banyak tersenyum. Supaya suasana mencair. Setelah selesai sidang dosen berdiskusi, dan Alhamdulillah, 23 Agustus, aku dinyatakan lulus meski ada beberapa catatan revisi.
Ada beberapa minggu waktu jeda yudisium. Ku manfaatkan untuk revisi, melengkapi beberapa berkas untuk syarat yudisium, dan main sebentar untuk menyegarkan jiwa, pikiran, dan raga.
Hingga 19 Nopember tiba untuk waktu Yudisium. Di Yudisium inilah pengumuman nilai mahasiswa sebagai proses penilaian akhir dari seluruh mata kuliah yang telah di ambil, dikumandangkan. Penetapan nilai dalam transkrip akademik, serta memutuskan lulus atau tidaknya mahasiswa dalam menempuh studi. Semua mahasiswa diwajibkan berangkat tepat waktu.
Aku berangkat satu jam sebelum dimulai. Apesnya sampai tempat perkuliahanku aku telat 12 menit. Tidak diperkenankan masuk. Ketua Progdi langsung ku temui. Beliau memberikan keterangan bahwa telat 2-3 menit saja tidak ada toleransi. Karena proses ini sakral. Hancur lebur hatiku terancam wisudaku diundur tahun besok.
Beliau mengisyaratkan bahwa jika ada yudisium lagi tahun sekarang, aku bisa ikut wisuda. Berdoa sepanjang hari yg bisa kulakukan. Sambil memeriksa web kampus. Beberapa jam sekali aktivitas yang sama aku ulangi. Sampai akhirnya bisa tersenyum lebar karena 1 Desember masih akan diselenggarakan proses Yudisium lagi. Aku dapat ceria lagi.
Yudisium kali ini aku datang satu jam sebelum dimulai. Semua berjalan lancar. Transkip nilai yang sedikit membaik. IPK 3,11 yang sanggup aku raih. Tak apalah. Tak ambil pusing, yang ada di pikiranku sebentar lagi wisuda. Akhir acara, berfoto dengan calon wisudawan lainnya untuk kenang-kenangan.
15 Desember 2018, di salah satu hotel di Purwokerto. Aku diwisuda.
Hanya berlangsung sesaat, bahkan tidak terlalu berkesan. Namun proses untuk menggapainya meninggalkan banyak cerita tak terlupakan. Kenangan pahit dan manisnya akan selalu dikenang.
Terik sengat matahari dan guyuran hujan, membagi waktu bekerja/bermain/bersosialisasi/ dengan kuliah, mengalokasikan dana pendidikan dengan kebutuhan pribadi,
Semuanya berhasil aku lalui.
Mungkin, momen menjadi seorang sarjana adalah salah satu momen paling bahagia di hidup anak muda.
Akhirnya pada momen ini aku bisa membuat kedua orangtua, calon istri, sahabat, serta keluargaku bangga. Pancaran kebahagiaan terlihat jelas di wajah Ayah & Bunda walaupun hanya mengenakan kebaya dan pakaian sederhana.
Tak ada alasan untuk berhenti sekolah,
Karena bagiku pendidikan adalah investasi jangka panjang.
Memang ijazah tidaklah menjamin.
Namun orang yang terdidik dengan yang tidak, tetap berbeda dari segi tutur kata, perilaku, intelektual, sikap, dan tanggung jawab.
Terimakasih telah membaca kisahku.
Ambil sisi positifnya dan buang jauh-jauh negatifnya. Untuk kamu yang ternyata masih disibukkan dengan tugas akhir atau skripsimu, Tenang, semua akan indah pada waktunya. Momen wisuda itu pasti akan datang.
Semoga ilmu yg ku raih,
bermanfaat bagi diri sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara.
Penulis : Muhamad Riyanto, S.Kom
Memulai kuliah pada September 2012, perjuanganku menyelesaikan Strata 1 tidaklah lancar. Jika orang lain normalnya menghabiskan masa studi 4 tahun, aku malah 6 tahun. Memalukan? Ya, memang.
Mahasiswa Abadi (MA)
Dunia perguruan tinggi tidaklah ramah padaku. Mulai dari sistem pembelajaran yg berbeda dengan masa sekolah menengah atas, dosen yang tidak sepeduli guru SMA, mahasiswa yang mulai kecanduan membolos, kecanduan travelling, berlatih membagi waktu karena tergoda untuk bekerja, dosen yang jarang berangkat, problematika keluarga, cinta, dan sosial yang semakin rumit, sampai masalah finansial yg sulit untuk ditolak. Semua telah aku lewati.
Awal masuk kuliah aku masih jadi mahasiswa yang rajin. Sekitar IPK 3.5 dapat ku raih sampai semester 3.
Mungkin suasana SMA masih terbawa. Mulai masuk semester 4, aku mulai tertular virus malas dan mulai kecanduan membolos sehingga semester 5 nilai IPK terjun bebas sampai 2.5 .
Kesibukan bekerja juga turut berpengaruh pada konsentrasiku menimba ilmu. Aku memang harus bekerja untuk membayar dana kuliah dan kebutuhan keseharianku. Di semester inilah aku seperti kehabisan asa untuk melanjutkan pendidikanku atau tidak. Pasalnya aku seperti salah masuk jurusan. Seperti "87% mahasiswa di Indonesia". Jangan kaget! Menurut Educational Psychologist dari Integrity Development Flexibility (IDF) Irene Guntur, M.Psi., Psi., CGA, memang begitulah adanya. Ada yang berani pindah jurusan, ada yang memilih terjebak. Aku memilih Teknik Informatika karena waktu SMA tertarik pada hal yang berkaitan dengan teknologi. Namun memasuki perkuliahan nyatanya, susah. Sangat sukar untuk masuk pada ubun-ubun kepalaku. Entah coding, grafis, dll. Sepertinya aku lebih tertarik pada jurnalistik. Suka terhadap berita dan informasi. Aku suka berbagi Foto dan Video, mungkin bagian multimedialah yg ku sukai dari jurusanku. Tapi ya sudahlah, tetap aku paksakan. Bagaimanapun hasilnya. Itu pilihan, nasib orang memang tak ada yang tahu.
Mahasiswa 12 Semester
Memasuki semester 7 aku mulai mendaftar KKL, itu saat mulai kecanduan travelling hingga tugas kuliah kadang terbengkalai. Dan apesnya aku harus mendaftar sampai 3 kali, (hingga semester 9) baru aku mengikuti KKL sampai selesai. Gila sekali. Tapi mau bagaimana lagi, menyelesaikan KKL jadi syarat untuk mendaftar skripsi di semester depan. Tugas akhir mahasiswa jika ingin diwisuda (dinyatakan lulus).
Sekali lagi,
Aku sudah terlalu malas. Hingga aku cuti. Selama satu tahun. (Juni 2017- Juni 2018/Semester 10-11). Pikirku, Aku tak sanggup menjinakkan skripsi. Aku tak mau ambil pusing.
Yang ada di kepalaku hanya cari uang yang banyak, cari pengalaman, cari sesuatu yg bisa menghibur diri. Tiada hari tanpa bersenang-senang.
Hingga suatu waktu aku berpikir. Sudah berapa juta yang aku habiskan untuk membayar kuliah? Sudah berapa tahun aku tidak bisa mencari pekerjaan yang lebih baik karena terbentur ijazah SMA? Apakah Drop Out (keluar dari kampus) adalah pilihan terbaik? Atmosfer dunia kampus semakin berkecamuk. Aku melihat banyak orang sepantaran usiaku bahkan adik kelasku di luar sana yang telah lulus perguruan tinggi, ditambah mempunyai pekerjaan yang bagus. Pasti orang tua mereka bangga.
Oh, aku iri sekali.
Aku harus bagaimana?
Aku harus bagaimana?
Mungkin ini sudah saatnya aku melanjutkan studiku.
Dan akhir Juni 2018, aku mendaftar skripsi guna menyelesaikan perkuliahanku. Di Tingkat akhir inilah mahawiswa dituntut dengan kesabaran tingkat dewa. Menyusun judul penelitian hingga diacc. Jadwal bimbingan pada dosen yang kadang tidak menentu tak kenal hari tak kenal waktu. Coretan revisi dan kritik yang menyayat hati. Uang, waktu, tenaga, begitu terforsir. Sumpah serapah bertutur kata kasar, terkadang keluar dari mulut ini.
Setelah laporan selesai, tinggal menuju jadwal sidang. Persiapan yg membuat jantung berdebar. Penguasaan materi sangat perlu. Diri ini diseret untuk menghadapi pertanyaan dosen penguji. Semua ku jawab sebisaku, dan memang hanya aku yang bisa menjawab pertanyaan dosen penguji karena aku yg mengerjakan penelitianku, bukan orang lain. Beberapa pertanyaan aku jawab dengan gugup dan banyak tersenyum. Supaya suasana mencair. Setelah selesai sidang dosen berdiskusi, dan Alhamdulillah, 23 Agustus, aku dinyatakan lulus meski ada beberapa catatan revisi.
Perjalanan Seorang Mahasiswa
Ada beberapa minggu waktu jeda yudisium. Ku manfaatkan untuk revisi, melengkapi beberapa berkas untuk syarat yudisium, dan main sebentar untuk menyegarkan jiwa, pikiran, dan raga.
Hingga 19 Nopember tiba untuk waktu Yudisium. Di Yudisium inilah pengumuman nilai mahasiswa sebagai proses penilaian akhir dari seluruh mata kuliah yang telah di ambil, dikumandangkan. Penetapan nilai dalam transkrip akademik, serta memutuskan lulus atau tidaknya mahasiswa dalam menempuh studi. Semua mahasiswa diwajibkan berangkat tepat waktu.
Aku berangkat satu jam sebelum dimulai. Apesnya sampai tempat perkuliahanku aku telat 12 menit. Tidak diperkenankan masuk. Ketua Progdi langsung ku temui. Beliau memberikan keterangan bahwa telat 2-3 menit saja tidak ada toleransi. Karena proses ini sakral. Hancur lebur hatiku terancam wisudaku diundur tahun besok.
Beliau mengisyaratkan bahwa jika ada yudisium lagi tahun sekarang, aku bisa ikut wisuda. Berdoa sepanjang hari yg bisa kulakukan. Sambil memeriksa web kampus. Beberapa jam sekali aktivitas yang sama aku ulangi. Sampai akhirnya bisa tersenyum lebar karena 1 Desember masih akan diselenggarakan proses Yudisium lagi. Aku dapat ceria lagi.
Yudisium kali ini aku datang satu jam sebelum dimulai. Semua berjalan lancar. Transkip nilai yang sedikit membaik. IPK 3,11 yang sanggup aku raih. Tak apalah. Tak ambil pusing, yang ada di pikiranku sebentar lagi wisuda. Akhir acara, berfoto dengan calon wisudawan lainnya untuk kenang-kenangan.
15 Desember 2018, di salah satu hotel di Purwokerto. Aku diwisuda.
Hanya berlangsung sesaat, bahkan tidak terlalu berkesan. Namun proses untuk menggapainya meninggalkan banyak cerita tak terlupakan. Kenangan pahit dan manisnya akan selalu dikenang.
Terik sengat matahari dan guyuran hujan, membagi waktu bekerja/bermain/bersosialisasi/ dengan kuliah, mengalokasikan dana pendidikan dengan kebutuhan pribadi,
Semuanya berhasil aku lalui.
Mungkin, momen menjadi seorang sarjana adalah salah satu momen paling bahagia di hidup anak muda.
Akhirnya pada momen ini aku bisa membuat kedua orangtua, calon istri, sahabat, serta keluargaku bangga. Pancaran kebahagiaan terlihat jelas di wajah Ayah & Bunda walaupun hanya mengenakan kebaya dan pakaian sederhana.
Tak ada alasan untuk berhenti sekolah,
Karena bagiku pendidikan adalah investasi jangka panjang.
Memang ijazah tidaklah menjamin.
Namun orang yang terdidik dengan yang tidak, tetap berbeda dari segi tutur kata, perilaku, intelektual, sikap, dan tanggung jawab.
Terimakasih telah membaca kisahku.
Ambil sisi positifnya dan buang jauh-jauh negatifnya. Untuk kamu yang ternyata masih disibukkan dengan tugas akhir atau skripsimu, Tenang, semua akan indah pada waktunya. Momen wisuda itu pasti akan datang.
Semoga ilmu yg ku raih,
bermanfaat bagi diri sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara.
Penulis : Muhamad Riyanto, S.Kom