Allah Menggenggam Mimpiku
Selasa, 12 Mei 2020
Allah Menggenggam Mimpiku - Aku punya mimpi. Suatu saat nanti aku dapat melihat langit yang lain, membawa perubahan melalui tulisan, dan merasakan sensasi terbang menyentuh awan. Kurang lebih seperti itu apa yang kuucapkan enam tahun yang lalu, di bawah langit malam desa Sendangagung.
Sebuah desa kecil di pesisir pantai utara Jawa, titik di mana aku memulai kehidupan sekaligus sebagai sebaik-baik tempat untuk berpulang. Aku bersyukur terlahir di keluarga kecil nan sederhana. Almarhum Bapak adalah seorang yang bekerja untuk memperbaiki perkakas yang rusak, sementara Ibu adalah buruh batik.
Mereka berdua sepertinya tidak lulus Sekolah Dasar, tapi aku bangga memiliki mereka. Karena dari beliau berdua, aku belajar arti tulus dalam mencintai dan kekayaan dalam kesederhanaan. Barangkali aku patut berterima kasih kepada Pemerintah. Berkat program-programnya, aku bisa merasakan pendidikan.
Mulai dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang kudapat dari Madrasah Ibtidaiyah atau SD sederajat hingga Madrasah Aliyah atau SMA sederajat, sampai Bidikmisi ketika di perguruan tinggi. Di desa kami, kuliah adalah barang yang begitu mahal, apalagi untuk bisa duduk di perguruan tinggi butuh biaya yang tidak sedikit.
Hadirnya Bidikmisi memberikan harapan untuk melanjutkan mimpi anak-anak desa yang terbatas biaya, sampai memutus mata rantai kemiskinan. Demikianlah kata Muhammad Nuh, penggagas Bidikmisi bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Singkat cerita, melalui cerita yang panjang, Allah mengizinkanku untuk menjadi penerima Bidikmisi. Sungguh anugerah yang luar biasa, orang tuaku bahkan menangis tidak percaya melihat limpahan nikmat Allah kepada anaknya. Apalagi aku diterima di salah satu kampus negeri terbaik di Indonesia, Universitas Airlangga tanpa tes, tanpa mengeluarkan sepeserpun biaya.
Namun, guruku sempat menyayangkan, mengapa aku tidak memilih ITB sebagai pilihan utama. Aku sendiri sepaham dengan mereka, hanya saja orang tuaku, walaupun tidak paham dengan dunia perkuliahan, mereka berkenan agar tidak terlalu jauh dari kampung halaman. Demikianlah kawan, engkau boleh memiliki mimpi yang tinggi, tapi pastikan di setiap tarikan usahanya engkau melibatkan ridho orang tua. Dengan demikian, engkau lebih mudah dalam menaklukkan mimpi-mimpi besarmu. Tiga tahun yang lalu, aku resmi menjadi mahasiswa baru Universitas Airlangga.
Orang tuaku tidak ikut melepasku ke tanah perantauan, Surabaya. Mereka hanya berpesan di depan pintu rumah sederhana kami, ketika aku meminta izin untuk menimba ilmu. “Nak, dimanapun engkau berada, jangan pernah lupa untuk salat, senantiasa membantu orang lain, dan berkata jujur.” Aku mengangguk pelan sembari memeluk mereka berdua. Cukup iri dengan teman-temanku yang lain, yang diantar oleh keluarga mereka. Aku mencoba beradaptasi dengan hal itu, karena seorang petarung pasti akan sendiri melawan musuh-musuhnya di medan perang.
Masa awal kuliah bisa dibilang sebagai masa orientasi yang panjang. Beberapa teman mengeluh tentang tugas yang banyak, ospek yang tidak berkesudahan, senior yang tidak menyenangkan, sampai dosen yang suka semena-mena. Tentu, adaptasi dari dunia sekolah ke dunia kampus adalah poin penting untuk tetap bisa bertahan. Aku kemudian teringat dengan pesan seorang pembicara pada pembekalan mahasiswa penerima Bidikmisi.
Beliau adalah seseorang dengan segudang prestasi yang juga berasal dari kalangan tidak mampu. Beliau berpesan untuk menjadi mahasiswa yang tidak biasa dan tidak seperti kebanyakan mahasiswa. Karena di dalam darah kami para penerima Bidikmisi, mengalir harapan dari masyarakat. Sehingga wajib bagi kami untuk berbuat lebih untuk menempa diri ke arah yang lebih baik. Karena kampus adalah sebaik-baik tempat untuk terbentur, terbentur, terbentur, dan kemudian terbentuk menjadi pribadi yang tidak biasa.
Aku mencoba untuk aktif di beberapa organisasi. Tercatat, ketika maba aku terlibat dalam tujuh organisasi, mayoritas adalah Unit Kegiatan Mahasiswa. Beberapa teman menganggapku gila, karena terlampau banyak untuk ukuran mahasiswa. Memang pilihan itu cukup berisiko, tapi tidak ada pilihan lain untuk mengenali potensi diri selain terjun di segala bidang.
Alhamdulillah, walaupun banyak organisasi yang aku tekuni, Allah tetap mengizinkan Indeks Prestasiku mendekati area cumlaude. Ikhtiar yang panjang itu kemudian membawaku bertemu dengan literasi sebagai passion utama. Dari sana, aku terus mengasah diri, belajar dari banyak orang, dan terus mencoba untuk menebarkan kebaikan melalui tulisan. Aku pun tidak menyangka beberapa mimpi besarku dapat diraih melalui jalan literasi. Hingga detik ini, aku telah terlibat dalam 50 proyek buku antologi dan menulis 7 buku individu mulai dari motivasi islam sampai novel islami. Ingat mimpiku tentang terbang menyentuh awan? Aku meraihnya melalui literasi.
Beberapa kota di Indonesia seperti Medan, Palembang, Makassar, Denpasar, sampai Lombok berhasil aku pijak dengan gratis dalam rangka lomba karya tulis maupun esai. Tidak berhenti disitu, Allah pun memberikan nikmat lain berupa keberhasilan untuk membanggakan nama kampus sebagai sang juara di sana. Ketika pandanganku dari balik jendela pesawat membentur gumpalan awan putih, aku terus teringat bahwa aku hanyalah mahasiswa bidikmisi dari desa yang kini dapat membuktikan mimpi-mimpi atas izin-Nya.
Cerita pun terus berlanjut. Aku menjadi mahasiswa berprestasi fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga dua tahun berturut-turut, 2017 dan 2018, lengkap dengan prediket Student of The Year tahun 2018. Bahkan aku termasuk dalam kandidat Mahasiswa Berprestasi Universitas Airlangga tahun 2018. Banyak mahasiswa menganggapku adalah anak orang kaya yang segalanya tercukupi, atau lulusan SMA bergengsi di kotakota besar, atau bahkan anak seorang dosen maupun pejabat pemerintah. Aku hanya tersenyum simpul.
Awalnya mereka tidak percaya dengan penjelasanku, namun melihat sifatku yang senantiasa jujur, akhirnya mereka mempercayainya. Memang sulit untuk dipercaya, tapi yakinlah bersama Allah, segala sesuatu yang mustahil dapat diraih. Mungkin engkau bertanya kepadaku, apakah aku pernah gagal? Pernah menuai rintangan? Atau pernah berada di titik paling bawah? Aku menjawab sering. Engkau tahu kawan, tokohtokoh besar di dunia ini dibesarkan melalui beragam kegagalan, beragam rintangan, dan beragam kesedihan. Karena sejatinya apa yang engkau sebut sukses bukanlah sebuah tujuan, melainkan sebuah proses.
Mari kuceritakan, bagaimana Allah benar-benar mengujiku. Ketika itu, akhir Oktober 2017 pasca pemilihan mahasiswa berprestasi fakultas. Aku mendapat sebuah kesempatan untuk melakukan short exchange ke Malaysia gratis sebagai hadiah mawapres. Kembali aku tidak percaya, mungkinkah ini jawaban atas mimpiku untuk melihat langit negara lain? Seperti di atas awan, namun tiba-tiba saja aku jatuh tersungkur di lubang yang paling dalam. Kesempatan itu melayang begitu saja lantaran aku tidak memiliki paspor.
Barangkali ini menjadi pelajaran bagi engkau kawan, jangan pernah bermimpi ke luar negeri bila belum memiliki paspor. Segeralah menggenggamnya, karena kita tidak akan tahu di detik ke berapa dalam hidup, kita mendapatkan kesempatan itu. Saat itu, aku merasa begitu sedih bahkan sempat menuduh Allah mencabut mimpiku. Tapi aku terus berusaha percaya, bahwa ketika Allah menutup satu jalan, Allah akan menghadirkan jalan lain yang tidak akan pernah kita duga.
Dan itu terjadi kepadaku. Lepas kesempatan ke Malaysia, Allah memberiku kesempatan untuk melihat kota terpenting dalam sejarah peradaban dunia, Istanbul, Turki. Berkat paperku yang lolos Simposium Internasional PPI Turki dan menjadi juara pertama di sana. Aku menangis sejadi-jadinya, ketika dapat melihat langit Istanbul, dan menyentuh salju untuk yang pertama kalinya. Benarbenar seperti mimpi. Di tengah hujan salju, mataku basah melihat telapak kakiku.
Siapa sangka, kaki yang terbiasa bergelut dengan lumpur desa, dapat menginjak salju di tanah orang nun jauh di sana, melintasi batas-batas benua. Maka nikmat Tuhanmu manalagi yang engkau dustakan? Maka, teruslah menyalakan mimpi-mimpi besar, membuat pengharapan di luar nalar manusia yang diiringi dengan kerja keras. Pastikan Allah menggenggam mimpi-mimpi besarmu. Karena bila engkau berjuang sendiri, engkau hanya akan lebih banyak terbentur dengan tembok-tembok besar.
Lain cerita bila engkau melibatkan Allah, menjalin hubungan baik dengan-Nya melalui ritual ibadah, insyaallah Allah akan membukakan jalan untukmu dan menjadikan segala yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Bila engkau bertanya, apa yang harus dilakukan oleh seorang mahasiswa bidikmisi untuk melakukan perubahan? Jawabannya sederhana. Yakni berangkat dari diri sendiri, menjadi mahasiswa yang tidak biasa. Untuk menjadi bukti sejarah, bahwa seorang anak desa juga dapat bersinar dan menyalakan harapan, untuk memicu orang lain berani bermimpi besar.
Judul : Allah Menggenggam Mimpiku
Penulis : Moh. Wahyu Syafi'ul M.
Buku : Rangkaian Titik Kehidupan
Sebuah desa kecil di pesisir pantai utara Jawa, titik di mana aku memulai kehidupan sekaligus sebagai sebaik-baik tempat untuk berpulang. Aku bersyukur terlahir di keluarga kecil nan sederhana. Almarhum Bapak adalah seorang yang bekerja untuk memperbaiki perkakas yang rusak, sementara Ibu adalah buruh batik.
Allah Menggenggam Mimpiku
Mereka berdua sepertinya tidak lulus Sekolah Dasar, tapi aku bangga memiliki mereka. Karena dari beliau berdua, aku belajar arti tulus dalam mencintai dan kekayaan dalam kesederhanaan. Barangkali aku patut berterima kasih kepada Pemerintah. Berkat program-programnya, aku bisa merasakan pendidikan.
Mulai dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang kudapat dari Madrasah Ibtidaiyah atau SD sederajat hingga Madrasah Aliyah atau SMA sederajat, sampai Bidikmisi ketika di perguruan tinggi. Di desa kami, kuliah adalah barang yang begitu mahal, apalagi untuk bisa duduk di perguruan tinggi butuh biaya yang tidak sedikit.
Hadirnya Bidikmisi memberikan harapan untuk melanjutkan mimpi anak-anak desa yang terbatas biaya, sampai memutus mata rantai kemiskinan. Demikianlah kata Muhammad Nuh, penggagas Bidikmisi bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Singkat cerita, melalui cerita yang panjang, Allah mengizinkanku untuk menjadi penerima Bidikmisi. Sungguh anugerah yang luar biasa, orang tuaku bahkan menangis tidak percaya melihat limpahan nikmat Allah kepada anaknya. Apalagi aku diterima di salah satu kampus negeri terbaik di Indonesia, Universitas Airlangga tanpa tes, tanpa mengeluarkan sepeserpun biaya.
Namun, guruku sempat menyayangkan, mengapa aku tidak memilih ITB sebagai pilihan utama. Aku sendiri sepaham dengan mereka, hanya saja orang tuaku, walaupun tidak paham dengan dunia perkuliahan, mereka berkenan agar tidak terlalu jauh dari kampung halaman. Demikianlah kawan, engkau boleh memiliki mimpi yang tinggi, tapi pastikan di setiap tarikan usahanya engkau melibatkan ridho orang tua. Dengan demikian, engkau lebih mudah dalam menaklukkan mimpi-mimpi besarmu. Tiga tahun yang lalu, aku resmi menjadi mahasiswa baru Universitas Airlangga.
Orang tuaku tidak ikut melepasku ke tanah perantauan, Surabaya. Mereka hanya berpesan di depan pintu rumah sederhana kami, ketika aku meminta izin untuk menimba ilmu. “Nak, dimanapun engkau berada, jangan pernah lupa untuk salat, senantiasa membantu orang lain, dan berkata jujur.” Aku mengangguk pelan sembari memeluk mereka berdua. Cukup iri dengan teman-temanku yang lain, yang diantar oleh keluarga mereka. Aku mencoba beradaptasi dengan hal itu, karena seorang petarung pasti akan sendiri melawan musuh-musuhnya di medan perang.
Masa awal kuliah bisa dibilang sebagai masa orientasi yang panjang. Beberapa teman mengeluh tentang tugas yang banyak, ospek yang tidak berkesudahan, senior yang tidak menyenangkan, sampai dosen yang suka semena-mena. Tentu, adaptasi dari dunia sekolah ke dunia kampus adalah poin penting untuk tetap bisa bertahan. Aku kemudian teringat dengan pesan seorang pembicara pada pembekalan mahasiswa penerima Bidikmisi.
Beliau adalah seseorang dengan segudang prestasi yang juga berasal dari kalangan tidak mampu. Beliau berpesan untuk menjadi mahasiswa yang tidak biasa dan tidak seperti kebanyakan mahasiswa. Karena di dalam darah kami para penerima Bidikmisi, mengalir harapan dari masyarakat. Sehingga wajib bagi kami untuk berbuat lebih untuk menempa diri ke arah yang lebih baik. Karena kampus adalah sebaik-baik tempat untuk terbentur, terbentur, terbentur, dan kemudian terbentuk menjadi pribadi yang tidak biasa.
Aku mencoba untuk aktif di beberapa organisasi. Tercatat, ketika maba aku terlibat dalam tujuh organisasi, mayoritas adalah Unit Kegiatan Mahasiswa. Beberapa teman menganggapku gila, karena terlampau banyak untuk ukuran mahasiswa. Memang pilihan itu cukup berisiko, tapi tidak ada pilihan lain untuk mengenali potensi diri selain terjun di segala bidang.
Alhamdulillah, walaupun banyak organisasi yang aku tekuni, Allah tetap mengizinkan Indeks Prestasiku mendekati area cumlaude. Ikhtiar yang panjang itu kemudian membawaku bertemu dengan literasi sebagai passion utama. Dari sana, aku terus mengasah diri, belajar dari banyak orang, dan terus mencoba untuk menebarkan kebaikan melalui tulisan. Aku pun tidak menyangka beberapa mimpi besarku dapat diraih melalui jalan literasi. Hingga detik ini, aku telah terlibat dalam 50 proyek buku antologi dan menulis 7 buku individu mulai dari motivasi islam sampai novel islami. Ingat mimpiku tentang terbang menyentuh awan? Aku meraihnya melalui literasi.
Beberapa kota di Indonesia seperti Medan, Palembang, Makassar, Denpasar, sampai Lombok berhasil aku pijak dengan gratis dalam rangka lomba karya tulis maupun esai. Tidak berhenti disitu, Allah pun memberikan nikmat lain berupa keberhasilan untuk membanggakan nama kampus sebagai sang juara di sana. Ketika pandanganku dari balik jendela pesawat membentur gumpalan awan putih, aku terus teringat bahwa aku hanyalah mahasiswa bidikmisi dari desa yang kini dapat membuktikan mimpi-mimpi atas izin-Nya.
Cerita pun terus berlanjut. Aku menjadi mahasiswa berprestasi fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga dua tahun berturut-turut, 2017 dan 2018, lengkap dengan prediket Student of The Year tahun 2018. Bahkan aku termasuk dalam kandidat Mahasiswa Berprestasi Universitas Airlangga tahun 2018. Banyak mahasiswa menganggapku adalah anak orang kaya yang segalanya tercukupi, atau lulusan SMA bergengsi di kotakota besar, atau bahkan anak seorang dosen maupun pejabat pemerintah. Aku hanya tersenyum simpul.
Awalnya mereka tidak percaya dengan penjelasanku, namun melihat sifatku yang senantiasa jujur, akhirnya mereka mempercayainya. Memang sulit untuk dipercaya, tapi yakinlah bersama Allah, segala sesuatu yang mustahil dapat diraih. Mungkin engkau bertanya kepadaku, apakah aku pernah gagal? Pernah menuai rintangan? Atau pernah berada di titik paling bawah? Aku menjawab sering. Engkau tahu kawan, tokohtokoh besar di dunia ini dibesarkan melalui beragam kegagalan, beragam rintangan, dan beragam kesedihan. Karena sejatinya apa yang engkau sebut sukses bukanlah sebuah tujuan, melainkan sebuah proses.
Mari kuceritakan, bagaimana Allah benar-benar mengujiku. Ketika itu, akhir Oktober 2017 pasca pemilihan mahasiswa berprestasi fakultas. Aku mendapat sebuah kesempatan untuk melakukan short exchange ke Malaysia gratis sebagai hadiah mawapres. Kembali aku tidak percaya, mungkinkah ini jawaban atas mimpiku untuk melihat langit negara lain? Seperti di atas awan, namun tiba-tiba saja aku jatuh tersungkur di lubang yang paling dalam. Kesempatan itu melayang begitu saja lantaran aku tidak memiliki paspor.
Barangkali ini menjadi pelajaran bagi engkau kawan, jangan pernah bermimpi ke luar negeri bila belum memiliki paspor. Segeralah menggenggamnya, karena kita tidak akan tahu di detik ke berapa dalam hidup, kita mendapatkan kesempatan itu. Saat itu, aku merasa begitu sedih bahkan sempat menuduh Allah mencabut mimpiku. Tapi aku terus berusaha percaya, bahwa ketika Allah menutup satu jalan, Allah akan menghadirkan jalan lain yang tidak akan pernah kita duga.
Dan itu terjadi kepadaku. Lepas kesempatan ke Malaysia, Allah memberiku kesempatan untuk melihat kota terpenting dalam sejarah peradaban dunia, Istanbul, Turki. Berkat paperku yang lolos Simposium Internasional PPI Turki dan menjadi juara pertama di sana. Aku menangis sejadi-jadinya, ketika dapat melihat langit Istanbul, dan menyentuh salju untuk yang pertama kalinya. Benarbenar seperti mimpi. Di tengah hujan salju, mataku basah melihat telapak kakiku.
Siapa sangka, kaki yang terbiasa bergelut dengan lumpur desa, dapat menginjak salju di tanah orang nun jauh di sana, melintasi batas-batas benua. Maka nikmat Tuhanmu manalagi yang engkau dustakan? Maka, teruslah menyalakan mimpi-mimpi besar, membuat pengharapan di luar nalar manusia yang diiringi dengan kerja keras. Pastikan Allah menggenggam mimpi-mimpi besarmu. Karena bila engkau berjuang sendiri, engkau hanya akan lebih banyak terbentur dengan tembok-tembok besar.
Lain cerita bila engkau melibatkan Allah, menjalin hubungan baik dengan-Nya melalui ritual ibadah, insyaallah Allah akan membukakan jalan untukmu dan menjadikan segala yang tidak mungkin menjadi mungkin.
Bila engkau bertanya, apa yang harus dilakukan oleh seorang mahasiswa bidikmisi untuk melakukan perubahan? Jawabannya sederhana. Yakni berangkat dari diri sendiri, menjadi mahasiswa yang tidak biasa. Untuk menjadi bukti sejarah, bahwa seorang anak desa juga dapat bersinar dan menyalakan harapan, untuk memicu orang lain berani bermimpi besar.
Judul : Allah Menggenggam Mimpiku
Penulis : Moh. Wahyu Syafi'ul M.
Buku : Rangkaian Titik Kehidupan