Kisah Inspiratif Rita Puspitasari Bisa Kuliah di ITB - Sang Pejuang SBMPTN
Kamis, 14 Mei 2020
Pleiades - Kisah Inspiratif Rita Puspitasari Bisa Kuliah di ITB Sang Pejuang SBMPTN- “Jika kau memiliki keinginan yang kuat dari dalam hati, maka alam semesta akan bahu membahu mewujudkannya”, begitulah kata Ir. Soekarno. Kalimat singkat yang selalu membuatku yakin, hingga aku berada disini.
Rita Puspitasari, namaku. Nama pemberian dari dua malaikat yang dikirim Allah ke kehidupanku. Aku tinggal di sebuah kampung yang cukup jauh dari pusat Kota Bandung, dua jam perjalanan menggunakan kendaraan umum. Di sebuah rumah sederhana bersama kedua orangtuaku, dan dua kakak perempuanku yang sudah berkeluarga. Abah adalah panggilanku untuk ayah. Sosok pria paling tampan, paling bijaksana dan paling hebat.
Kisah Inspiratif Rita Puspitasari Bisa Kuliah di ITB
ilustrasi |
Umurnya memang sudah tidak muda lagi, 60 tahun. Ketegasannya yang mendidikku menjadi pribadi yang taat dan super disiplin. Abah selalu mengajarkanku agar menjadi orang yang tidak menyusahkan oranglain. Meskipun hanya tamatan sekolah dasar, abah adalah ahli matematika bagiku. Cara beliau menghitung luas tanah pesawahan milik orang, menghitung berapa karung padi yang menjadi upah, untuk menghidupi kami. Tidak akan selesai kisah menarik dari hidup beliau jika aku bukukan.
Umi adalah malaikat penjaga yang sangat menyayangiku. Kasih sayangnya tidak kasat mata, air mata dan doanya yang menggetarkan Arsy, dan aku tidak akan menjadi apa-apa tanpa cintanya. Seperti halnya abah, Umi juga tamatan sekolah dasar. Ijazahnya sudah usang dimakan usia, meski bukan sarjana, Umi adalah sarjana pertama bagiku. Umi adalah anak dari seorang tentara, ya kakekku. Beliau tentara jauh dari Pulau Sulawesi sana. Tidak ada penerus, dan berhenti sampai seorang pensiun. Itu yang membuatku bersemangat dan gigih menuntut ilmu. Kakek adalah orang hebat, seorang pejuang yang ikut melawan para penjajah.
Meski namanya tak dikenang, kakek adalah pahlawan Indonesia yang paling dekat denganku, bagiku. Dua orang penopang cita-citaku, kedua kakak perempuanku.
Cita-cita mereka tertunda dengan berbagai keadaan. Aku terpaut 10 tahun dengan keduanya. Segala upaya mereka lakukan, agar aku bisa melanjutkan pendidikan. Meski bukan dengan materi, karena mereka sudah memiliki tanggungan keluarga yang harus dipenuhi. Dukungan moral, semangat dan doa yang tiada henti-hentinya. Ketika aku masih kecil kakak sering bernyanyi agar aku lekas tidur. Begini, “Yun ayun ambing, diayun-ayun ku samping. Gera gedé gera jangkung, gera sakola ka Bandung”. Intinya adalah sebuah doa, agar aku segera dewasa dan bisa sekolah ke Bandung.
Masa kecilku telah berkelana, memandangi langit bertabur bintang saat pulang terawih dengan kakakku. Langit yang mengajari aku bermimpi, yang mengajari aku bertanya, dan patuh pada peritahNya. Senja ku habiskan untuk bermain bersama teman masa kecilku di lapangan bola dekat kandang ayam milik peternak di desa. Berhantu, katanya. Mataku selalu terpejam, memandangi lembayung dan bertanya mengapa senja berwarna.
Mengapa langit siang berwarna biru, mengapa bintang bertaburan di malam hari, mengapa langit begitu jauh dan bagaimana jika aku melewati gumpalan awan, ada apa diluar sana? Aku ingat waktu itu aku ikut tabligh akbar dengan kedua orangtuaku, dan pulang sudah sangat larut. Langit malam yang gelap di sebuah kampung dengan jumlah lampu yang dapat dihitung jari. Ketika bintang lain berhamburan dan tersebar merata, ada sekelompok bintang yang bergerombol di langit. Menakjubkan. Aku suka langit malam, itu yang merasuki memori bawah sadarku.
Saat kelas 2 SD, aku sempat dimarahi oleh abah karena aku tidak hafal perkalian. Dan mulai membanding-bandingkan dengan anak tetangga yang sudah khatam perkalian satu hingga sepuluh. Aku termotivasi, hingga akhirnya aku juga khatam perkalian walau masih terbata-bata. Memasuki kelas 6 SD, guruku bertanya tentang cita-citaku. Aku menjawab, aku ingin menjadi seorang ilmuwan. Padahal aku tidak tahu, apa pekerjaan seorang ilmuwan. Sains adalah mata pelajaran yang sangat aku sukai, saat aku membaca buku sains aku menemukan sebuah potret seorang astronot. Berdiri tegak di Bulan, dengan helm kaca bulat yang menutupi kepalanya. Mulai saat itu cita-citaku berubah, aku ingin menjadi seorang astronot.
Berlanjut ke SMP, aku berkenalan dengan fisika. Fenomena alam dapat dijelaskan dengan cara matematis, luar biasa menurutku. Aku mulai tidak ragu untuk membaca banyak artikel di komputer milik temanku. Dan aku mulai membaca mengenai bola langit, aku ingin tahu dimana aku bisa menuntut ilmu astronomi sebanyak mungkin. Hingga aku dipercaya mengikuti Olimpiade Matematika, Fisika, dan Kimia tingkat SMP seKabupaten Bandung Barat dengan kedua rekanku sebagai satu tim. Dan menjadi juara umum. Motivasi baru bagiku, fisika dan matematika semakin menggugah hatiku.
Kebimbangan bermula, Umi dan Abah sudah tidak mampu membiayai pendidikanku ke SMA. Pertolongan Allah selalu datang disaat yang tepat bagi hamba-Nya yang sabar. Meski pemikiranku belum dewasa kala itu, hatiku menjerit dan menangis saat keinginanku menuntut ilmu harus dipangkas dengan keji hanya karena masalah biaya. Pamanku berbaik hati membayar semua biaya masuk SMA. Masalah kembali datang, siapa yang akan membayar SPP.
Disitu aku bertekad untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Hingga kelas 1 SMA aku meraih juara 1 di kelas. Wali kelasku berpesan kepada Umi saat pembagian raport, agar aku bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun Umi menghela nafas di belakang saat berbincang dengaku, Umi menyarankan agar aku bekerja di pabrik saja setelah tamat SMA nanti, karena untuk kuliah itu butuh biaya yang tidak sedikit.
Mimpiku dipangkas lagi. Allah menghiburku, aku mendapat beasiswa gratis SPP selama aku bersekolah di SMAN 1 Cililin dari alumni. Beliau adalah Mas Yusuf dan sekarang tinggal di Australia. Aku belum pernah bertemu dengan beliau, dan atas budi baiknya aku bisa bersekolah dengan tenang di SMA. Hingga satu mimpi muncul lagi, nanti aku akan ke Australia. Aku ingin bertemu beliau, aku ingin berterimakasih. Tapi tidak elegan rasanya kalau aku tidak menjadi hebat, aku ingin datang dengan membawa kabar baik dan berterimakasih dengan hal terbaik.
Di tahun kedua SMA, Abah jatuh sakit, dan tidak dapat bekerja. Sekali lagi ingin aku sampaikan, Allah mengirimkan malaikat paling lembut dan paling kuat. Umi bekerja menggantikan Abah. Dengan upah duapuluh lima ribu per hari sebagai asisten rumah tangga di tukang baso yang tidak jauh dari kecamatan. Aku menangis dalam diam, haruskah aku membenamkan mimpi untuk berkuliah agar aku dapat bekerja dan membantu perekonomian keluarga.
Aku dipercaya untuk menjadi delegasi dari sekolahku di acara Astara Ganesha, sebagai peserta Olimpiade Astronomi Tingkat SMA se-Jawa Barat. Hari terbaik yang selalu aku nantikan, karena aku akan menginjakkan kaki di ITB untuk pertama kalinya. Astronomi ITB adalah doa yang selalu aku panjatkan di penghujung shalat. Aku tidak punya daya dan upaya, aku hanya meminta pada- Nya, agar aku bisa berkuliah. Singkat cerita aku duduk di sebuah ruangan bertuliskan ‘Kelas Tata Surya’. Aku mendunduk dan bedoa, “Ya Allah, aku ingin duduk di sini lagi nanti. Mendengarkan kuliah dari dosen. Aamiin.” Dan aku hanya lolos sebagai semifinalis, urutan ketujuh kira-kira. Pulang dengan sebuah pengalaman yang akan selalu ku kenang nantinya.
Tahun ketiga SMA, yang katanya tahun memorial yang tidak boleh disia-siakan. Aku mulai mengeratkan ikatan dengan teman-temanku, agar nantinya di masa depan kita bisa bertemu dengan baik dalam keadaan yang baik-baik saja. Tidak begitu bagiku, keluargaku diguncang dengan ujian besar. Yang tak pernah memihak mimpiku. Semuanya bermula ketika aku melakukan kecerobohan pada saat melaksanakan pendaftaran SNMPTN, aku tidak mencentang kolom peserta bidikmisi. Itu yang membuatku bingung dan sangat sedih. Singkatnya, aku diterima sebagai Mahasiswa FMIPA ITB, satu langkah menuju Astronomi.
Namun, disaat yang sulit saat aku kelabakan mencari cara agar aku tetap berkuliah. Yang aku takutkan bagaimana jika aku berkuliah tanpa beasiswa. Dan keadaan ekonomi kakakku sedang tidak baik, hal itu juga yang menuntutnya pergi ke Arab Saudi dan bekerja sebagai TKW. Berat sekali, tekananku saat itu datang dari mana-mana. Sabar, kala itu kesabaranku dan keluargaku diuji, hujatan dan cibiran dari beberapa tetangga semakin menguatkan tekadku. Aku harus berhasil.
Agar aku bisa membuktikan dan bisa bermanfaat di desa, dan dimanapun aku tinggal nantinya. Walau kenyataannya aku tidak bisa berbuat apaapa, aku hanya berdoa, “Ya Allah jika berkuliah adalah takdir untukku, sekuat apapun aku menghindarinya aku akan tetap berkuliah. Jika memang bukan takdirku, bantulah aku agar masalah ini selesai dan tidak merugikan orang banyak.”
Allah memberi aku keduanya, menjadikan berkuliah di ITB sebagai sebuah takdir dan memperbaiki keadaan. Semuanya memang masalah waktu, hanya dengan sabar dan shalat. Aku diterima secara terbuka sebagai Mahasiswa FMIPA ITB. Dan masalah menjadi seorang beswan bidikmisi, Allah juga melancarkan semuanya. Aku memenuhi semua berkas, dan menjalani survey rumah.
Semua berjalan dengan sangat baik. Hingga aku diterima oleh keluarga baruku, Asrama Kanayakan ITB. Keluarga baru yang sampai sekarang dan nanti akan menjadi keluarga. Dan doa dari kakak melalui nyanyian saat aku terlelap tidur, Allah juga kabulkan. Aku bersekolah di Bandung.
Mengenai akademik di tahun pertama memang tidak terlalu baik. Aku pernah mendapat nilai rendah, mengikuti ujian perbaikan, dan merasa tidak memiliki teman. Bahkan merasa tidak percaya diri melihat teman-teman baruku yang dulunya seorang juara nasional bahkan internasional, sedangkan aku tingkat kabupaten saja tidak lolos. Namun, bukan itu yang aku cari. Aku hanya terlambat belajar, dan harus gigih mengejar.
Setelah memasuki tingkat dua di ITB, aku diterima di jurusan Astronomi. Aku mendapat teman-teman yang luar biasa peduli, dan membuatku berkembang menjadi lebih baik. Untuk menambah uang saku, aku belajar menjadi seorang pengajar, meski tidak seberapa semoga aku bisa menabung untuk membayar biaya kosan. Aku ingin berkuliah, dan aku ingin mandiri.
Aku hanya berdoa semoga aku selalu sehat, agar bisa berkuliah dengan lancar dan baik-baik saja. Sesuai yang aku minta dulu, tiga tahun yang lalu di penghujung shalat. Dan aku benarbenar duduk di ruangan yang sama saat aku pertama kali di ITB, sekarang aku duduk dan mendengarkan kuliah dari dosen. Dan gerombolan bintang yang dulu aku kagumi adalah Pleiades.
Gugus bintang berjarak 444 tahun cahaya dari Bumi. Gugus bintang paling jelas terlihat di malam hari. Masyarakat awam biasa menyebutnya dengan nama Bintang Tujuh, karena tampak tujuh bintang paling terang. Pada kenyataannya ada sekitar 3000 bintang yang kompak dalam satu ikatan gravitasi. Aku baru mengetahui itu Pleiades saat aku dilantik menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Astronomi ITB. Dan pertama kali melihat Pleiades dengan teleskop saat menjadi tim hilal di Observatorium Bosscha beberapa bulan yang lalu.
Diberi kesempatan untuk mengamat langit hingga pukul dua dini hari adalah satu langkah nyata menjadi seorang peneliti, atau bahkan ilmuwan. Aamiin. Sekarang keadaan sudah mulai membaik, dan bersiap untuk berbagai tantangan di depan. Sejatinya saat kita memilih untuk mewujudkan mimpi yang besar, harus siap pula dengan resiko yang besar. Tidak mengapa, terkadang Allah mendewasakan seseorang dengan masalah.
Akhirnya selalu ada jalan keluarnya. Itu yang aku yakini, Allah selalu menyertakan jalan keluar. Terakhir terimakasih ya Allah, firman Mu benar. “Dan Tuhanmu berfirman: ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku perkenankan bagimu’..”(Q.S Ghaafir : 60). Tidak ada keraguan apapun lagi, apalah aku tanpa Mu Ya Allah. Dan semoga Allah selalu menjaga Umi dan Abah, dan mengijinkanku untuk membawa mereka melihatku di wisuda nanti. Aamiin.
Judul Paten : Pleiades
Penulis : Rita Puspitasari
Buku : Rangkaian Titik Kehidupan