Perjuangan Anak Desa Menggapai Asa
Minggu, 17 Mei 2020
Kisah Perjuangan Anak Desa Menggapai Cita-cita - Menginjakkan kaki di pulau paling timur Indonesia menjadi mimpiku dari beberapa tahun lalu. Tepatnya saat pulang dari SMA, laptopku memutar film drama Di Timur Matahari yang tak tahu dari mana aku mendapatkannya. Yang aku ingat betul, aku menonton lagi film itu karena ada beberapa part yang terlewat saat perdana ditayangkan di TV, 31 Juli 2014. Film yang menyampaikan kondisi pendidikan dan pesan perdamaian berhasil membujuk rayuku untuk menuliskan tanah papua ke dalam wishlist yang ada dibenakku.
Asa di Ujung Timur
Tiga tahun berlalu, harapan itu masih ada. Bahkan lebih kuat, setelah Pulau Sumatera dan Pulai Dewata tercoret dari wishlistku pada Juli 2017. Sejak saat itu, obsesi menginjakkan kaki di tanah papua semakin menggebu, apalagi melihat kondisi pendidikan disana, aku ingin ikut membuat perubahan. Hingga pada 9 Oktober 2017 sebuah postingan di Instagram membuat harapan itu menemukan celah jalannya.
Postingan itu berisi ajakan membuka wawasan kekayaan hakiki Indonesia, memupuk cinta tanah air, serta mengembangkan diri dalam memberikan kontribusi positif untuk masyarakat. Tidak ada yang istimewa dari caption post kegiatan You Can Empower ini, tak jauh dengan caption kegiatan pengabdian yang telah ku ikuti sebelumnya. Yang membuat postingan itu istimewa adalah salah satu lokasi dari kegiatan, yaitu Raja Ampat, Papua Barat.
Semangatku bertambah, namun hatiku belum mengiyakan. Berminggu-minggu aku acuhkan link form pendaftaran. Namun, karena penasaran sesekali aku mencoba mengisi, namun berakhir dengan nyala tanda silang di pojok kanan browserku. Ada hal yang mengganggu pikiranku, sedikit banyak tentang kegiatan ini.
Selain jadwal perkuliahan, kondisi finansial merupakan salah satu masalahnya. Aku sadar sebagai mahasiswa bidikmisi tentunya 3,5 juta sebagai biaya program tidaklah sedikit. Itu senilai uang saku bidikmisi selama satu semester. H-5 sebelum penutupan pendaftaran yang jatuh pada 27 Oktober, aku memutuskan untuk mendaftar. “Apa salahnya aku mendaftar dulu, jadi tidaknya kan urusan nanti, toh belum tentu diterima” pikirku.
25 Oktober 2017, ada sebuah pesan baru dalam kotak masuk surat elektronikku, tertulis ‘Letter of Acceptance - Youcan Empower Raja Ampat 2018’. Seketika hati merasa sangat bahagia, jalan menuju impianku semakin terbuka. Tapi, sedetik setelah ku buka e-mail itu ekspresiku berubah, raut bahagia sirna, aku tertegun melihat deadline pembayaran tahap pertama yang sejumlah satu juta, sangat mepet, 27 Oktober.
Puluhan pertanyaan tanpa permisi bermunculan di ruang otakku. Salah satunya “Bagaimana cara mendapatkan uang sebanyak itu?”. Diantara sekian pertanyaan, aku justru mengajukan pertanyaan pada hati kecilku, “Apa tujuan aku ikut kegiatan ini?” tanyaku. Pertanyaan yang kembali membangkitkan semangat.
Hari terakhir pembayaran tahap pertama sudah didepan mata. Aku kembali meluruskan niat. Setelah mengumpulkan tabungan dan sedikit meminjam tambahan dari saudara, Alhamdulillah aku berhasil melunasi tepat waktu. 6 November 2017, grup delegasi dibentuk. Aku tergabung dalam tim 2. Rasanya serba kikuk, belum ada yang ku kenal dalam grup secara langsung. Aku mengesampingkan rasa itu, berusaha ‘welcome’ dengan delegasi lainnya.
Selain delegasi, ada tiga orang fasilitator yang ada di grup kami. Mereka menyampaikan rincian kegiatan ini. Aku menyimpulkan ada empat divisi; pendidikan, ekonomi, lingkungan, dan keseharan, dalam satu tim, yang akan dikoordinasi oleh satu koordinator umum dan koordinator divisi. “Ah pendidikan, sepertinya seru” pikirku. 16 November 2017, kami tim 2 mengagendakan pemilihan koordinator. Berbekal pengalamanku di kegiatan pengabdian sebelumnya, aku mencalonkan diri sebagai koordinator pendidikan, dan tak disangkanya aku terpilih.
Sebuah amanah besar, yang pertama kali ku emban. Memikirkan tantangannya rasanya aku tak sanggup. Bagaimana tidak, aku harus mengkoordinasikan anggota divisi pendidikan yang ternyata semuanya lebih tua dari aku dan merencanakan program dengan orang yang belum ku kenal langsung.
Semakin mendekati keberangkatan aku semakin disibukkan dengan masalah donasi, perlengkapan yang dibutuhkan, dan program kerja yang diusung tim pendidikan. Beberapa hari sekali ada General Meeting, kemudian Rapat Divisi, kemudian General Meeting lagi. Ternyata ribet, Capek? Iya, jelas. Tapi entah kenapa, seperti ada sebuah dorongan yang kembali membakar semangat. Sebentar, ada yang ku lupa.
Aku masih harus melunasi sisa pembayaran yang dibatasi pada tanggal 27 November. Aku terlalu asyik dengan penyusunan program dan pengumpulan donasi. Sebenarnya aku sudah kesana kemari mencari sponsor, seperti yang dilakukan beberapa anggota lainnya. Tapi, hasilnya masih nihil. Tak ada satu pun institusi atau perusahaan yang melirik proposalku, bahkan kampusku sendiri. Aku pun pasrah, hari terakhir pembayaran aku masih belum bisa melunasinya.
Ternyata Allah memberikan jalannya. Pembayaran diperpanjang hingga 17 Desember. “Ah cukup lama, uang saku bidikmisi sepertinya sudah turun” pikirku. Aku kembali bersemangat mencari donasi, donasi, dan donasi. Awal bulan Desember 250 pak buku tulis dan belasan kardus buku bacaan sudah bersarang di kontrakanku yang ku sulap jadi tempat penampungan donasi. Senang sekali rasanya. Sayangnya, rasa senang itu hilang tatkala 17 Desember semakin dekat. Uangku masih belum cukup juga. Sempat terpikir, lebih baik aku mengundurkan diri.
Dari pada aku bertahan, tapi sampai batasnya aku belum mampu melunasinya. Lagi pula, tak sedikit orang yang meragukan dan menganggap aku tidak introspeksi diri. “Kamu aja hidup dibantu dengan beasiswa, sok bantu orang” katanya. Memang sejak SMP tepatnya sepeninggal ayahku, aku mengandalkan beasiswa hingga saat ini. Mungkin aku tidak bisa kuliah jika tidak ada bantuan bidikmisi. Akhirnya aku berbesar hati “Mungkin belum saatnya aku kesana”.
Aku memutuskan untuk mengirim pesan Whatsapp kepada Kak Putera, Koordinator Fasilitator, tentang pengunduran diriku. Baru saja aku menulis beberapa kalimat, aku teringat pesan seseorang yang aku pun lupa siapa dia. Intinya “Urip iku ojo pengen penak dewe, golek bondo dunyo wae, toh bondo gak digowo mati, elengo dulurmu sing iseh kurang” yang jika diartikan dalam Bahasa Indonesia “Hidup itu jangan ingin enak sendiri, cari harta dunia saja, toh harta tidak dibawa mati, ingat saudara yang masih kurang”.
Aku langsung hapus pesanku dan segera ku gencarkan broadcast donasi ke kontak whatsappku. Tepat hari terakhir pendaftaran, uang bidikmisi ku cair dan tak disangka ada donatur buku yang juga memberiku uang saku. Alhamdulillah. Aku sangat bersyukur, akhirnya mimpiku segera terwujud. Aku tak peduli setelah kegiatan ini aku bisa makan atau tidak, bisa membayar keperluan kuliah atau tidak. Yang aku yakini, harta ini bukan milikku, buat apa aku menyimpannya, toh ada Allah yang maha kaya.
17 Januari 2019, dini hari sekali, Aku bertolak dari Surabaya, bersama delegasi lainnya. Kami menggunakan kapal laut untuk sampai di lokasi. Ya, kapal laut dipilih agar biaya program lebih banyak terpakai untuk keperluan pengabdian.
Aku bersyukur. Cuaca yang kurang bersahabat membuat kami terombang-ambing di lautan selama empat hari lima malam, dari yang seharusnya empat malam saja. Akhirnya 21 januari 2019, kakiku berhasil menapak di tanah papua, tepatnya di pelabuhan sorong. Tak sampai disitu, kami harus bermalam dan keesokan harinya menyeberang ke Pulau Waisai dan kemudian menempuh perjalanan darat lebih dari satu jam. Perjalanan yang cukup panjang.
22 Januari 2019, kami tim 2 sampai di tempat pengabdian. Lokasi pengabdian kami merupakan desa baru yang ada karena adanya tambang batu merah (sejenis batu bata). Yang menarik, banyak orang perantauan disini, ada yang dari Maluk, Sulawesi, bahkan Jawa dan Sumatera pun ada. Sampai disana kami tak langsung istirahat, kami langsung menyusun program untuk hari esok dan esoknya lagi. Saya merasa beruntung menjadi bagian divisi pendidikan. Kami mengenalkan semua hal tentang Negara Indonesia, mulai dari lambangnya, lagunya, sukunya, bahkan budayanya kepada Siswa di SD Warengkris. Aku juga belajar banyak dari mereka.
Melihat semangat anak-anak disana, aku seperti tidak ada apa-apanya. Betapa tidak, mereka menerjang aspal yang panas terkadang tanpa alas, terik matahari yang memanggang tulang berbalut kulit, dinginnya air hujan yang tak kenal waktu datang, untuk menunggu guru yang kadang tidak datang. Banyak yang ku dapat ku pelajari dari mereka. Dari perjalanan ini, aku percaya perubahan bisa dibuat oleh siapa saja. Semua bergantung pada niat masing-masing. Ketika niat sudah bulat, diiringi usaha dan doa, kendala demi kendala akan mudah diselesaikan, dan akhirnya perubahan bisa dilakukan.
Judul Paten : Asa di Ujung Timur
Penulis : Musfiqon