Satu Ketuk Mereka Merasakan - Kisah Mahasiswa IAIN Tulungagung
Rabu, 13 Mei 2020
Kisah Istimewa Nurul Azizah Mahasiswa IAIN Tulungagung - Satu Ketuk Mereka Merasakan - Senja di ufuk barat perlahan-lahan mulai tenggelam larut menjadi mega merah yang menandakan berakhirnya waktu sore, mengingatkan diriku pada awal mencoba melangkah maju dengan mengikuti hati. Saat itu aku sedang melakukan rutinitas mengaji setelah salat ashar, seperti biasanya dengan lantunan suaraku membaca al-qur’an mengisi keheningan dalam rumahku, dimana saat-saat waktu tersebut Bapak sedang mengajar ngaji anak-anak kecil di kampungku yang dilaksanakan di mushola dekat rumah.
Sedangkan Ibu biasanya sedang belajar membaca alqur’an di mushola juga dengan ibu-ibu lainnya, Ibu memang bukan lulusan pesantren, namun tekad untuk belajar sangatlah besar, Ibu juga tidak sungkan bertanya kepadaku mengenai bacaan al-qur’annya. Yang terakhir adik sulungku yang sekarang kelas empat SD, juga ikut mengaji di mushola.
Kisah Istimewa Nurul Azizah Mahasiswa IAIN Tulungagung
ilustrasi |
Namaku Nurul Azizah gadis remaja yang sekarang berumur 20 tahun, Mak Ijah atau Azizah merupakan sapaan akrab dari orang-orang disekitarku. Aku memiliki lima saudara, satu kakak dan tiga adik karena aku anak yang ke dua. Sekarang ini aku sedang menempuh kuliah S1 dan masih semester genap. Kata orang tuaku, aku itu bagaikan “Ndoro Kasih”, maksudnya jika orang lain berada didekatku, aku selalu membawa ketenangan dan disenangi karena ramah. Begitulah diskripsi yang bisa kugambarkan dari diriku ini.
Saat ini posisiku berada dikamar 301, kamar yang disediakan oleh Ma’had Al-Jami’ah IAIN Tulungagung, sedang menikmati senja yang kubilang diawal tadi. Hingga aku teringat sesuatu yang sudah lama ingin kuwujudkan, Dulu setelah masa sekolah MA/SMA dan bertepatan saat aku sudah keluar pondok pesantren, kegiatanku dirumah hanya mengaji dan muroja’ah alqur’an. Hal tersebut kulakukan untuk mengisi waktu kosong 32 sambil menunggu masuknya perkuliahan di kampus yang sekarang kutempati untuk menuntut ilmu.
Suatu hari setelah salat ashar aku disuruh oleh Bapak untuk ikut mengajar ngaji di mushola, awalnya aku menolak, namun aku terus dipaksa oleh Bapak dan akhirnya aku ikut saja, Sebenarnya ini bukan pengalaman pertamaku dalam mengajari orang lain, namun biasanya saat di pondok dulu aku hanya mengajari adik-adik kelas dengan seputar pelajaran mereka bukan mengajari mengaji, Karena ini merupakan suatu pengalaman yang berbeda, maka ada rasa ragu dalam diriku, Apakah aku bisa?, pertanyaan itulah yang selalu ada dibenakku.
Dengan semangat yang naik turun aku ikut Bapak ke mushola, setelah sampai Bapak mengenalkanku kepada anakanak, mungkin sebagian dari mereka sudah ada yang kenal denganku. Bapak membuka majlis dengan salam dan anak-anak menjawab sambil dilanjutkan do’a sebelum belajar. Aku juga berusaha mengikuti mereka, saat itu Bapak mempercayakan kepadaku untuk mengajari anak-anak yang masih belajar turutan (buku/kitab untuk mengaji yang tersusun rapi untuk belajar membaca al-qur’an bagi pemula). Sedangkan Bapak mengajari anak-anak yang sudah mengaji al-qur’an. Anak-anak sangat semangat dalam mengaji, hingga hari pertama bagiku itu terlewati dengan mudah dan rasa raguku mulai hilang.
Dihari berikutnya aku sudah mulai terbiasa dan tidak canggung lagi kepada anak-anak, bahkan saat Bapak tidak ikut mengajar, semua anak aku yang mengajarinya. Sebenarnya mengajari anak-anak mengaji itu menyenangkan, Namun ada kebiasaan yang kurang baik pada mereka yaitu mereka tidak mau menderes ulang/muroja’ah ngajinya sebelum disemak olehku. Dengan inisiatif sendiri aku bilang kepada anak-anak, “Nanti kalau mau menderes dulu ngajinya sampai 3 kali sebelum pulang tak kasih cerita loh, ayo dideres dulu”.
Seketika anak-anak itu tambah semangat, mau tidak mau aku juga mempersiapkan cerita islami untuk mereka. Setelah semuanya selesai mengaji, anak-anak mendengarkan ceritaku, waktu itu aku bercerita tentang Nabi Isa as., kadang-kadang mereka bertanya ini itu kepadaku, karena ceritaku tak kuselesaikan, hal ini kulakukan dengan sengaja agar mereka penasaran dan semangat mengaji. Akhirnya cerita akan kulanjutan besoknya dan kututup majlis mengajinnya dengan do’a bersama.
Dari beberapa kali aku mengajari anak-anak mengaji, aku melihat sisi lain dari mereka. Anak-anak tersebut terbagi dua kelompok yaitu anak kampung asli dan anak perumahan elit, dimana ada perbedaan yang mencolok pada mereka saat mengaji. Rata-rata anak perumahan elit mengaji dengan menggunakan metode úmmi (salah satu metode dalam membaca al-qur’an, metode lainnya seperti an-nahdliyah, tilawati, ad-dzikru, dll), Namun nada dari mereka banyak yang masih kurang tepat, karena aku juga pernah mempelajari metode tersebut dahulu waktu di pondok.
Aku melihat anak-anak sekarang mengajinya kurang lebih teratur karena perbedaan dialek membacanya. Keluhanku tersebut kusampaikan kepada Bapak, “Alah gak popo, wong iki neng ndeso wae (Alah tidak papa, lagipula ini kan di desa)”, kata Bapak. Jawaban Bapak belum bisa membuat terjawabnya keluhanku. Aku menginginkan desaku maju karena sekarang ini adalah zaman milenial, maksudku adalah aku ingin membawa perubahan sedikit pada desaku.
Suatu hari, saat aku akan mengajari anak-anak mengaji lagi aku bertekat semampuku untuk merubah kegiatan ngaji. Sebelumnya aku bilang dahulu kepada Bapak terkait keinginanku, Bapak setuju saja karena sekarang minim sekali remaja sebayaku yang mau berpikir lebih maju. Mula-mula kegiatan dimulai seperti bianya dengan do’a, lalu aku menyampaikan maksudku kepada anak-anak dengan perlahan-lahan. Setelah mereka sedikit mengerti aku mempraktikan langsung saat itu, saat itu aku menginginkan anak-anak dalam mengaji menyeragamkan bacaannya, aku memilih metode an-nahdliyah, karena metode tersebut mudah sambil dilagukan menggunakan ketukan. Anakanak sempat terheran karena baru pertama kalinya menderang metode seperti itu, tapi mereka tetap semangat. Aku senang keinginanku direspon baik oleh mereka.
Selain penyeragaman bacaan, aku juga mengembangkan kegiatan islami lainnya seperti, belajar menulis pegon (menulis arab untuk memaknai kitab dalam bahasa jawa), tambahan praktik salat(sering disebut fasholatan), mengahafal kitab-kitab awal seperti, kitab ala-ala, ‘aqidatul awam, dll. Semua kegiatan yang satu-persatu kujalankan kepada mereka ternyata berjalan dengan baik, bahkan orangtua anak-anak tersebut senang karena ada kemajuan dalam kemampuan ilmu agama anak mereka.
Jika dipikir-pikir, dulu aku sangat ingin sekali mengutarakan semua ide-ide yang ada dipikiranku, betapa susahnya mengajari mereka, dengan telaten dan sabar, itulah yang kurasakan. Kunci dari mengahadapi anak-anak itu adalah mampu mengambil hati mereka dengan terbuka dan perhatian. Kulakukan kegiatan belajar tersebut dengan rasa senang, dan penuh percaya diri agar mampu diterima dengan baik oleh anak-anak. Dari adanya kegiatan-kegiatan tersebut, menjadikan hidup kembali dengan warna baru di mushola kampungku.
Sekarang ini, mulai banyak anak-anak dari desa lain yang datang untuk belajar tentang ilmu agama di mushola kampungku. Karena aku mulai melanjutkan pendidikan kuliah, anak-anak diajari oleh remaja-remaja yang tergabung dalam REMAS (Remaja Masjid) yang dulunya pernah tidak ada agenda kegiatan dan sekarang menjadi ustadzustadzah. Dari adanya kebangkitan REMAS, mulailah di kampungku ada peringatan hari besar islam (seperti Maulud Nabi, Rajaban, Pengajian Akbar, dll). Aku senang bisa sedikit membantu berkontribusi di kampungku, meskipun itu dari perubahan sedikit saja hingga saat ini dapat berkembang lebih baik dalam hal pendidikan agama dan kegiatan agama lainnya.
Perubahan sekecil apapun tidak akan terwujud jika tak ada tekad kemauan dari sesorang dan bantuan dorongan kerjasama dari semua aspek masyarakat dan pendukungnya. Aku tau bukan apa-apa, aku tau bukan siapa-siapa, aku tau bukan yang terbaik, Maka dari itu aku membutuhkan juga tangan dari orang lain.
Judul : Satu Ketuk Mereka Merasakan
Penulis : Nurul Azizah
Buku : Rangkaian Titik Kehidupan